Jakarta – Institut Nalanda kembali menunjukkan komitmennya dalam membangun harmoni dan moderasi beragama dengan menggelar acara Bukber dan Sarasehan yang bertajuk Refleksi Diri dalam Keheningan: Memaknai Bulan Ramadan, Hari Nyepi, dan Magha Puja untuk Keharmonisan Umat Beragama. Acara ini berlangsung di Kampus Nalanda, Jakarta Timur, pada Jumat, 21 Maret 2025.
Kegiatan ini menghadirkan berbagai tokoh lintas agama sebagai narasumber, di antaranya Dr. Sutrisno, S.IP., M.Si., Rektor Institut Nalanda sebagai keynote speaker; Ustadz Indra Firmansyah sebagai pemuka agama Islam; Letkol (Purn.) Pind. T. Romo Tuwari, S.M., sebagai pemuka agama Hindu; serta YM. Bhikkhu Gunaseno Thera sebagai pemuka agama Buddha. Diskusi yang dipandu oleh moderator Kemiran, S.Pd.B., M.Pd., ini bertujuan untuk memperkuat nilai-nilai toleransi dan kebersamaan dalam keberagaman.
Astri, selaku pembina Rumah Moderasi Beragama (RMB), menekankan bahwa perayaan hari raya merupakan bentuk menciptakan keharmonisan umat beragama. “Ketiga momen yang sakral ini mengajarkan semangat kebersamaan dan toleransi di tengah keberagaman. Agama membawa kita pada tujuan yang sama, yaitu menuju kebaikan,” ujarnya.
Perwakilan FKUB Jakarta Timur, Pdt. Hosea Sudarna, menambahkan pentingnya kerja sama dalam hidup beragama untuk membangun kerukunan umat. “Saya juga menjalani pra-Paskah atau Minggu Sengsara. Kita bersama-sama berefleksi diri dalam keheningan yang semakin menopang kebersamaan dan berbagi kepada sesama,” katanya.
Joko Santoso, Pembimas Buddha Jakarta Timur, menilai kegiatan ini memiliki makna luar biasa dalam memperkuat toleransi. “Nalanda senantiasa membangun kerja sama dengan seluruh lembaga Bimas Buddha di Jakarta Timur sebagai wujud nyata dalam membangun harmoni antarumat beragama. Dengan semangat toleransi, Nalanda turut berperan dalam membentuk generasi muda Buddhis yang tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga memiliki kesadaran sosial dan kewirausahaan. Dengan bimbingan para dosen, mahasiswa diharapkan tumbuh menjadi pribadi yang tidak hanya mencari keuntungan pribadi, tetapi juga mampu berkontribusi bagi masyarakat luas.”
Ustadz Indra Firmansyah mengajak umat Islam untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. “Semangat hari raya dalam umat beragama bukan sekadar perayaan, tetapi juga pengingat akan pentingnya menjaga toleransi dan tetap rendah hati. Dalam Islam, kita diajarkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam, yang berarti membawa kedamaian, kebaikan, dan manfaat bagi semua makhluk, tanpa memandang perbedaan. Taqwa bukan hanya sekadar ritual, tetapi bukti bahwa kita telah melalui ujian hati dan mampu menahan diri dari hal-hal yang dapat memecah belah persaudaraan. Dalam kebersamaan, kita menemukan kekuatan untuk terus membangun kehidupan yang harmonis dan penuh kasih sayang.” katanya.
Letkol (Purn.) Pind. T. Romo Tuwari, S.M., menyoroti bahwa kehidupan beragama yang harmonis harus dilandasi oleh kesadaran dan keseimbangan. “Sebagai umat beragama, kita diberikan keluwesan untuk menjalankan ajaran kita masing-masing sesuai dengan UUD 1945. Negara telah memberikan kebebasan berkeyakinan dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Oleh karena itu, kita harus mampu menciptakan keseimbangan dan keserasian dalam hidup bermasyarakat. Dalam tradisi Hindu, Hari Raya Nyepi dijalankan dengan hening melalui tapa brata dan samadhi. Semua ini bertujuan untuk mencapai ketenangan batin dan membangun kebijaksanaan dalam kehidupan sehari-hari,” ungkapnya.
Rektor Institut Nalanda, Dr. Sutrisno, menyoroti bahwa berbagai hari raya agama memiliki kesamaan makna. “Sekilas kita tilik tentang Idul Fitri, merupakan proses pensucian dan ujungnya adalah sosial dan silaturahmi. Di lain sisi, Magha Puja juga memiliki aspek penyucian dan berakhir pada aspek sosial, begitu pula dengan Nyepi, yang menekankan refleksi diri melalui Catur Brata Penyepian. Nyepi mengajarkan kita untuk menahan diri dari aktivitas duniawi, menumbuhkan kesadaran batin, dan mempererat hubungan dengan sesama serta lingkungan. Kesunyian yang dijalani bukan sekadar bentuk ibadah, tetapi juga momentum untuk merajut kembali nilai-nilai kebajikan dalam kehidupan sehari-hari.” Ia menambahkan pentingnya refleksi dalam suasana kekinian dan normalisasi kembali kehidupan dengan mengendalikan hawa nafsu serta memupuk kebajikan. “Orang yang bisa mengalahkan diri sendiri adalah yang mampu mencapai keheningan sejati. Semoga kita selalu menjadi umat beragama yang harmonis,” tuturnya.
YM. Bhikkhu Gunaseno Thera juga menegaskan pentingnya menjaga nilai-nilai kebenaran dan cinta kasih dalam kehidupan beragama. “Memayung hayuning bawana—melindungi dan menjaga keharmonisan dunia—harus menjadi refleksi kita dalam menjalani kehidupan. Kita harus mampu memanusiakan manusia, menjaga keseimbangan batin, serta menebarkan cinta kasih kepada semua makhluk, tanpa memandang perbedaan agama atau kepercayaan,” ujarnya. Ia juga menambahkan bahwa dalam membangun kerukunan, diperlukan kesadaran kolektif untuk merawat lingkungan dan menjadikan kebajikan sebagai pedoman utama.
Acara ini juga dipandu oleh dua Master of Ceremony, yakni Ria Restina R., S.I.Kom., M.I.Kom., dan Ariyanto, S.Pd., M.Pd. Selain sesi sarasehan, peserta juga berkesempatan untuk mengikuti buka puasa bersama sebagai simbol kebersamaan antarumat beragama.